Bagi masyarakat adat Sunda, terutama di daerah konservatif seperti Kuningan (Jawa Barat) dan Banten Kidul, padi lebih dari sekadar komoditas pangan; ia adalah Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi pemberi kehidupan. Oleh karena itu, berakhirnya musim panen dirayakan dengan sebuah tradisi sakral dan megah yang dikenal sebagai Upacara Adat Seren Taun. Ritual Syukur Panen ini merupakan manifestasi rasa terima kasih mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa dan alam semesta atas hasil bumi yang melimpah. Ritual Syukur Panen ini tidak hanya melibatkan aspek spiritual, tetapi juga pertunjukan seni dan budaya yang meriah. Inti dari Ritual Syukur Panen Seren Taun adalah permohonan agar panen di tahun berikutnya lebih baik.

Upacara Seren Taun secara rutin digelar setiap tahun, berdasarkan perhitungan kalender Sunda. Salah satu lokasi pelaksanaannya yang paling terkenal adalah di Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, yang biasanya jatuh sekitar bulan September setiap tahunnya. Puncak dari perayaan ini adalah prosesi penyerahan padi dari hasil panen terakhir (pare anyar) kepada Sesepuh Adat atau Kokolot. Padi ini tidak langsung disimpan di lumbung biasa, melainkan ditempatkan di Leuit Si Jimat (lumbung pusaka), yang menjadi simbol penghormatan tertinggi terhadap padi.

Prosesi Ritual Syukur Panen ini dimulai dengan berbagai rangkaian kegiatan. Beberapa hari sebelum puncak acara, dilakukan prosesi pengambilan air suci dari tujuh mata air keramat (Tujuh Mata Air Parahyangan) yang dipercaya memberikan keberkahan. Puncaknya ditandai dengan arak-arakan dongdang (hasil bumi) dan pare (padi) yang diiringi kesenian tradisional seperti Angklung Buhun dan Dog-Dog Lojor. Jumlah padi yang diserahkan pun memiliki makna simbolis; biasanya berupa ikatan padi seberat dua kwintal, melambangkan keseimbangan dan kemakmuran.

Seren Taun membuktikan bahwa tradisi dapat hidup berdampingan dengan modernitas. Selain sebagai Ritual Syukur Panen, upacara ini menjadi ajang berkumpulnya komunitas, mempererat tali persaudaraan (pawongan), dan menjaga keharmonisan dengan alam (palemahan), yang sejalan dengan prinsip filosofi hidup yang dianut oleh masyarakat adat Sunda. Upacara ini dijaga kelestariannya oleh masyarakat adat setempat sebagai warisan budaya tak benda yang penting untuk kelangsungan identitas mereka.