Di tengah gempuran modernisasi dan teknologi, Kampung Adat Ciptagelar di Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, berdiri tegak sebagai benteng peradaban kuno. Komunitas ini, penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, menawarkan jendela unik untuk Kehidupan Tradisional yang diatur ketat oleh hukum adat. Mereka membuktikan bahwa Kehidupan Tradisional yang selaras dengan alam bukan hanya masa lalu, melainkan model masa depan yang berkelanjutan. Kehidupan Tradisional yang mereka jalani adalah Fondasi Pemulihan dari kearifan lokal yang hampir punah, dan Kunci Dominasi dalam menjaga harmoni dengan lingkungan.


Kesatuan Adat dan Teknologi

Kampung Ciptagelar dikenal karena paradoks uniknya: meskipun sangat memegang teguh adat, mereka tidak anti terhadap teknologi. Aturan adat (Awig-Awig) mereka mengatur kehidupan sehari-hari, tetapi inovasi diizinkan selama tidak bertentangan dengan prinsip tri tangtu (tiga ketentuan) utama mereka: menjaga padi, menjaga hutan, dan menjaga air.

  1. Padi sebagai Simbol Kehidupan: Inti dari Kehidupan Tradisional di Ciptagelar adalah padi. Mereka memiliki leuit (lumbung padi) komunal yang sangat besar dan secara tegas dilarang menjual padi hasil panen ke luar desa. Padi adalah simbol ketahanan pangan dan warisan leluhur. Upacara panen, yang disebut Seren Taun, adalah perayaan terbesar mereka yang diadakan setiap tahun pada Tanggal 22 Bulan Rayagung kalender adat. Upacara ini, yang dipimpin oleh Sesepuh Adat yang menjabat, Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, adalah manifestasi rasa syukur terbesar komunitas.
  2. Harmoni Lingkungan: Mereka menganggap hutan sebagai kawasan terlarang (leuweung larangan) yang tidak boleh dirusak, serta kawasan yang boleh dimanfaatkan (leuweung baladahan) dengan batasan ketat. Keseimbangan ini telah membantu mereka Menumbuhkan Empati terhadap lingkungan, sehingga desa mereka terhindar dari bencana alam ekstrem.

Arsitektur dan Tata Ruang

Tata ruang Kampung Ciptagelar mencerminkan filosofi hidup mereka. Semua bangunan rumah adat harus menghadap ke arah yang sama, dibangun dari material alami (kayu dan bambu), dan berbentuk panggung untuk menghindari kelembapan dan melindungi dari hewan. Aturan ini, yang diterapkan ketat oleh Badan Musyawarah Adat, memastikan keseragaman dan kepatuhan terhadap norma leluhur.

Keunikan lain adalah sistem komunikasi mereka. Meskipun menganut Kehidupan Tradisional, Ciptagelar memiliki stasiun radio dan televisi komunitas mereka sendiri. Teknologi ini digunakan sebagai alat Memperluas Wawasan dan menyebarkan informasi antarwarga desa, sekaligus memfilter pengaruh negatif dari luar.

Perlindungan dan Pengakuan

Eksistensi Ciptagelar tidak lepas dari tantangan. Namun, ketegasan mereka dalam mematuhi awig-awig telah menjadikan mereka studi kasus ketahanan budaya yang diakui secara nasional. Keamanan dan ketertiban di dalam wilayah adat diatur oleh Jaro (kepala keamanan adat), yang bekerja sama secara informal dengan aparat setempat. Misalnya, Kepolisian Sektor (Polsek) Cisolok secara berkala berkoordinasi dengan Jaro untuk memastikan tidak ada pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah tersebut, terutama selama upacara besar.

Melalui disiplin adat yang kuat dan sikap terbuka terhadap teknologi yang selektif, Kampung Adat Ciptagelar berhasil menjaga warisan Sunda Wiwitan mereka, membuktikan bahwa identitas budaya adalah kunci untuk ketahanan di tengah perubahan zaman.