Jauh sebelum masuknya agama-agama besar, masyarakat Sunda di wilayah Jawa Barat telah memiliki sistem kepercayaan dan pandangan hidup yang kaya, yang dikenal sebagai Filosofi Sunda Wiwitan. Secara harfiah, Sunda Wiwitan berarti “Sunda yang permulaan” atau “Sunda yang asli,” mencerminkan ajaran leluhur yang berpusat pada penghormatan terhadap alam semesta, karuhun (leluhur), dan Sang Hyang Kersa (Tuhan Yang Maha Esa). Filosofi Sunda Wiwitan ini bukan hanya serangkaian ritual, tetapi sebuah pedoman etika dan moral yang mengikat erat hubungan antara manusia, alam, dan penciptanya, menjadikannya pilar utama dari kebudayaan Sunda hingga saat ini. Kepercayaan ini secara turun-temurun dipegang teguh oleh komunitas-komunitas adat seperti di Cigugur (Kuningan), Kanekes (Baduy), dan Kampung Naga.
Inti dari Filosofi Sunda Wiwitan adalah konsep Tri Tangtu di Jero dan Panca Tunggal. Tri Tangtu di Jero mengacu pada tiga pilar kehidupan yang harus dijalankan dengan harmonis: Rama (pemimpin spiritual/adat), Ratu (pemimpin pemerintahan/negara), dan Resi (ulama/kaum cerdik pandai). Ketiganya harus bekerja sama demi mencapai keseimbangan sosial. Sementara itu, Panca Tunggal mengajarkan lima kesatuan hidup: kesatuan Tuhan, kesatuan alam, kesatuan manusia, kesatuan makhluk hidup, dan kesatuan waktu. Ajaran ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan, yang termanifestasi dalam larangan adat seperti tidak merusak hutan lindung (leuweung larangan). Pada tanggal 10 April 2024, misalnya, diadakan pertemuan adat besar di Pasewakan Tri Panca Tunggal yang dihadiri oleh 150 tokoh adat dari berbagai daerah, menegaskan kembali komitmen untuk menjaga Panca Tunggal di tengah modernisasi.
Dalam praktik sehari-hari, Sunda Wiwitan sangat mengedepankan nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran, dan gotong royong. Salah satu upacara penting adalah perayaan Seren Taun, yang merupakan ungkapan rasa syukur atas panen yang melimpah. Perayaan ini biasanya dilaksanakan pada bulan Raya Kapat dalam penanggalan Sunda (sekitar Agustus/September). Ritual ini melibatkan seluruh anggota komunitas, termasuk perwakilan dari pemerintahan daerah setempat dan aparat keamanan. Pada perayaan Seren Taun yang dilaksanakan pada hari Minggu, 25 Agustus 2024, di desa adat Cigugur, kepolisian setempat melalui Sektor Kepolisian Resor (Polres) Kuningan mengerahkan 12 petugas untuk membantu mengatur lalu lintas dan memastikan ketertiban acara yang dihadiri ribuan pengunjung, menunjukkan pengakuan dan dukungan pemerintah terhadap pelestarian warisan budaya ini.
Meskipun telah lama ada, komunitas penganut Sunda Wiwitan sempat menghadapi tantangan dalam mendapatkan pengakuan formal. Namun, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016, ruang bagi penganut kepercayaan leluhur untuk mencatatkan identitas mereka secara resmi di kolom agama pada dokumen kependudukan telah terbuka. Proses ini didukung penuh oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Data Disdukcapil mencatat, hingga 30 Juni 2024, setidaknya 3.500 warga di wilayah Jawa Barat telah berhasil mencantumkan aliran kepercayaan mereka, termasuk Filosofi Sunda Wiwitan, dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka. Upaya ini merupakan langkah maju dalam menjamin hak-hak sipil penganut kepercayaan lokal, sekaligus memperkuat upaya pelestarian kebudayaan leluhur masyarakat Sunda sebagai bagian integral dari kekayaan bangsa.
